zwani.com myspace graphic comments

MAKELAR KASUS PERPAJAKAN DI INDONESIA

Monday, April 19, 2010

Pengadilan pajak mendadak menjadi sorotan, menyusul munculnya kasus Gayus Tambunan, pegawai pajak yang tersangkut mafia pajak. Pasalnya, sepanjang kariernya di Direktorat Jenderal Pajak, Gayus banyak menangani kasus keberatan ataupun banding oleh wajib pajak badan atau perusahaan.

Disinyalir, saat menangani kasus banding dengan wajib pajak (WP) dan berperkara di pengadilan, Gayus menerima uang hingga miliaran rupiah dari WP. Direktur Direktorat Kepatuhan Internal Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA) Ditjen Pajak Bambang Basuki mengatakan, pihaknya terus menelusuri kasus Gayus, termasuk perkara-perkara di pengadilan pajak yang pernah ditangani oleh Gayus.

"Kami mencari sendiri. Terus menelusuri sekitar Gayus, baik atasannya maupun kasus-kasus yang di pengadilan pajak. Ya, yang sebatas lingkup Ditjen Pajak," kata Bambang saat dihubungi Kompas.com di Jakarta, Senin (29/3/2010).

Bambang menjelaskan, peradilan pajak adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang mengurusi masalah khusus sengketa pajak. Adapun untuk pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan dilakukan oleh Kementerian Keuangan.

Pengadilan pajak ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang pengadilan pajak. Dijelaskannya, WP dapat mengajukan keberatan atas penghitungan bayar pajak ke pengadilan pajak ini. "Jadi teknisnya MA, tetapi secara administrasinya itu Kementerian Keuangan (Kemkeu). Pegawainya memang dari Kemkeu, tetapi hakimnya, hakim MA," ujar Bambang.

Sejak awal 2007 hingga pertengahan 2007, Gayus bertugas di Subdirektorat Bidang Keberatan Pajak. Selanjutnya, Gayus pindah ke Subdirektorat Banding hingga sekarang. Bambang mengakui, saat berperkara dengan WP di pengadilan, Gayus memenangkan penolakan Ditjen Pajak atas keberatan yang diajukan WP. Dari 17 proses yang ditangani Gayus, sekitar 15 kasus dimenangi oleh Ditjen Pajak.

Namun, saat Gayus menangani kasus pada pertengahan 2007 hingga awal 2010, hasilnya mengejutkan. Dari 51 kasus banding, sebanyak 40 kasus dikabulkan oleh pengadilan. Artinya, 40 kali Ditjen Pajak kalah.

Mantan Kepala Bareskrim Mabes Polri Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji mengantongi tiga nama makelar kasus yang bercokol di Mabes Polri.

"Gayus Tambunan itu bukan makelar kasus, tapi dia hanya pion, dia hanya korban," katanya ketika diwawancarai pemandu bedah buku 'Bukan Testimoni Susno' per telepon dari Surabaya, Minggu.

Di hadapan puluhan peserta bedah buku dalam rangkaian "Kompas Gramedia Fair 2010" itu, Susno juga sempat diwawancarai lewat telepon seluler (ponsel) oleh tiga warga kota Surabaya yang mengikuti bedah buku terbitan PT Gramedia Pustaka Utama setebal 138 halaman itu.

Menurut Susno yang pernah menjabat Wakapolwiltabes Surabaya itu, makelar kasus yang sebenarnya itu menghubungkan rekayasa perkara dari kepolisian, kejaksaan, hingga kehakiman.

"Dia (makelar kasus yang sebenarnya) itu mempunyai kekuatan yang hebat, karena dia mampu menghubungkan kepolisian, kejaksaan dan kehakiman," katanya.

Ucapan itu, katanya, membuat dirinya sempat diminta untuk membuktikannya. "Saya katakan, saya ibarat pelapor. Pelapor kok disuruh membuktikan, ya mereka yang harus membuktikan bahwa hal itu tidak benar," katanya.

Dalam bedah buku itu, penulisnya, IzHarry Agusjaya Moenzir, menyebutkan jumlah makelar kasus yang bercokol di Mabes Polri ada tiga nama. "Saya yakin, Pak Susno akan mengungkapkannya, tapi dia masih menyimpannya. Nanti, semuanya akan diungkap satu per satu," katanya.

Penulis buku yang juga anggota Dewan Kehormatan PWI itu menegaskan, Susno Duadji sendiri menyebutkan Gayus Tambunan itu masih merupakan episode awal.

"Pak Susno mengakui reformasi di Polri akan sulit bila makelar kasus masih ada di ruang yang tak jauh dari ruang Kapolri dan Wakapolri," katanya.

Menurutnya, Susno Duadji sudah lama membenahi masalah itu "dari dalam" (internal), tapi tidak pernah didengar, bahkan dirinya justru menjadi korban berkali-kali.

"Sewaktu menjabat Wakapolwiltabes Surabaya, Pak Susno pernah di-nonjob-kan, karena dia tak mengikuti perintah untuk menghentikan kasus upal (uang palsu) yang melibatkan dua jenderal di TNI," katanya.

Ketika menjadi Kapolda Jabar pun, Susno pernah ditawari setoran senilai Rp10 miliar dari kasus minuman keras.

"Pak Susno bilang setoran itu masih dari satu kasus, padahal di kepolisian itu banyak yang semacam itu. Masih ada kasus judi, VCD bajakan, prostitusi, dan banyak setoran-setoran dari dunia kejahatan lainnya," katanya.

IzHarry Agusjaya Moenzir menambahkan "Bukan Testimoni Susno" merupakan buku karyanya yang ke-15 dan paling laku keras, karena hingga kini sudah terjual 23.000 eksemplar.

Tak Cukup Copot Perwira Polisi

Pada bagian lain, Susno Duadji menilai pencopotan perwira polisi yang terkait kasus Gayus Tambunan tak cukup. "Terlibat dalam rekayasa perkara itu merupakan tindak pidana. Karena itu, seharusnya bukan dicopot, melainkan dimasukkan sel tahanan," katanya.

"Kalau dicopot, perwira itu masih bisa menjabat lagi. Jadi, masyarakat jangan cepat puas dengan adanya pencopotan itu karena perwira polisi itu memang nggak pantas jadi polisi," katanya.

Ia mengemukakan hal itu menanggapi langkah Kapolri Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri yang menonaktifkan atau mengganti Brigjen Edmon Ilyas supaya tidak mengganggu proses pemeriksaan dalam perkara Gayus Tambunan.

Selain mengganti Edmon yang menjabat Kapolda Lampung itu, Kapolri juga menonaktifkan perwira menengah di Direktorat II Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Kompol Arafat. Namun, Brigjen Pol. Radja Erizman yang juga diduga terlibat belum dinonaktifkan.

Anggota Badan Anggaran DPR Romahurmuziy mengatakan, kasus pegawai Direktorat Jenderal Pajak Gayus Tambunan yang memiliki tabungan Rp 25 miliar merupakan gambaran adanya makelar kasus (markus) di dunia perpajakan.

"Terkuaknya kasus Gayus Tambunan menunjukkan ada tindakan dari markus yang membocorkan keuangan negara sebelum tercatat sebagai transaksi keuangan dalam akuntansi negara," kata Romahurmuziy, Senin (29/3/2010).

Romahurmuzy mengatakan, dari keterangan Gayus Tambunan dan pihak lainnya yang dikutip media massa, diduga Gayus adalah penampung dan bukan pelaku markus sebenarnya, karena yang bersangkutan hanya staf biasa di Ditjen Pajak.

Untuk memperbaiki kinerja di Ditjen Pajak, dia mengusulkan sistem pengendalian di Ditjen Pajak harus dievaluasi lebih dahulu. UU No 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebutkan kewenangan tersebut harus diimplementasikan oleh Badan Pemerika Keuangan (BPK) yang bertugas menilai tingkat kekuatan pengendalian dari obyek pemeriksaan.

Pasal 4 ayat 3 UU No 15 tahun 2004 berbunyi, Pemeriksaan kinerja adalah pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri atas pemeriksaan aspek ekonomi dan efisiensi serta pemeriksaan aspek efektivitas.

"Dalam persoalan ini yang perlu didorong penegakan hukum dan peran utama dari BPK yang seharusnya melakukan evaluasi atas sistem pengendalian intern di Ditjen Pajak terkait pengamanan pendapatan negara dari sektor pajak," kata Sekretaris Fraksi PPP DPR ini.

Dijelaskannya, kasus Gayus Tambunan ini mungkin terjadi karena dalam UU Perpajakan ada klausul yang menyebutkan petugas di Ditjen Pajak bisa melakukan rapat rahasia, sehingga hanya petugas pajak dan Tuhan yang mengetahui data wajib pajak yang sebenarnya.

Self assesment ini, katanya, sudah diterapkan sejak 1984 ditambah ketentuan rahasia pajak, serta petugas pajak yang bermoral kurang baik, maka kolaborasi kantor akuntan publik dan konsultan pajak, semakin memperkuat praktik kecurangan dan pembocoran pendapatan negara dari sektor pajak.

"Self assesment baru diterapkan jika kontrol dan kultur masyarakat mendukung yang membuat sistem pengendalian internal menjadi tidak efektif," katanya.

SOO kenapa rakyat harus membayar PAJAK bila uang dari pajak tersebut tidak di pakai sesuai aturan yang berlaku.

Apakah rakyat harus member makan para koruptor????

0 comments:

Post a Comment